SUMBER DALIL HUKUM YANG
TIDAK DISEPAKATI
Makalah
Diajukan Untuk
Memenuhi Tugas Terstruktur Mata Kuliyah Fiqh/Ushul Fiqh
Dosen Pengampuh
: Wardah Nuroniyah, M.S.I
Disusun Oleh :
Majdudin Nurul Huda [Sem 5]
FAKULTAS USHULUDDIN JURUSAN TAFSIR HADITS
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SYEKH
NURJATI
CIREBON
2012 M
1434 H
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis telah panjatkan atas kehadirat Allah
SWT sang Pencipta alam semesta, manusia, dan kehidupan beserta seperangkat
aturan-Nya, karena berkat limpahan rahmat, taufiq, hidayah serta inayah-Nya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah dengan tema “SUMBER
DALIL HUKUM YANG TIDAK DISEPAKATI” yang sederhanaini dapat
terselesaikan tidak kurang daripada waktunya.
Maksud dan tujuan dari penulisan makalah ini tidak lain
untuk memenuhi salah satu dari sekian kewajiban mata kuliah Ushul
Fiqh serta merupakan bentuk langsung tanggung jawab penulis
pada tugas yang diberikan.
Pada kesempatan ini, penulis juga ingin menyampaikan
ucapan terima kasih kepada Wardah Nuroniyah, M.S.I selaku dosen serta
semua pihak yang telah membantu penyelesaian makalah ini baik secara langsung
maupun tidak langsung.
Demikian pengantar yang dapat penulis sampaikan dimana
penulis pun sadar bawasannya penulis hanyalah seorang manusia yang tidak luput
dari kesalahan dan kekurangan, sedangkan kesempurnaan hanya milik Allah Azza Wa’jala
hingga dalam penulisan dan penyusunnnya masih jauh dari kata sempurna. Akhirnya
penulis hanya bisa berharap, bahwa dibalik ketidak sempurnaan penulisan dan
penyusunan makalah ini adalah ditemukan sesuatu yang dapat memberikan manfaat
atau bahkan hikmah bagi penulis, pembaca, dan bagi seluruh mahasiswa-mahasiswi IAIN
SYEKH NURJATI CIREBON. Amien ya Rabbal ‘alamin.
Tanjungpinang, 10 Nopember 2012
Penulis
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR ………………............…………………………………………………
DAFTAR ISI
…………………….........……………………………………………………...
BAB I
PENDAHULUAN ……...........………………………………………………………...
A. Latar Belakang Masalah …..........………………...………………………………...
B. Rumusan Masalah ………………..........................................……………………..
C. Tujuan Masalah …..........................………………………………………………..
BAB II
PEMBAHASAN …………………..........…………………………………………....
A.
Sumber Dalil Hukum Yang Tidak Disepakati.....................................................
B.
Pengertian
dari Macam-macam Sumber Hukum Yang Tidak Disepakati beserta kehujjahanya............................................................................................
BAB III PENUTUP ……………………….........…………………………………………...
A.
Kesimpulan …………………........………………………………………………...
B.
Saran....................................................................................................................
DAFTAR
PUSTAKA ………….........……………………………………………………….
|
ii
iii
1
1
1
1
2
2
2
10
10
11
|
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Dalam ilmu Ushul Fiqih kita akan banyak
diperkenalkan pada pembahasan tentang berbagai macam dalil hukum atau metode
ijtihad para ulama dalam mengambil keputusan (istinbat) suatu hukum.
Dalil – dalil hukum tersebut para jumhur ulama ada dalil hukum yang
sepakati dan ada juga yang tidak sepakati. Dalil hukum yang disepakati adalah
Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas tetapi antara Ijma dan Qiyas ada yang
sepakat ada juga yang tidak akan tetapi yang tidak sepakat hanya sebagian kecil
yang tidak menyepakati adanya dalil hukum qiyas. Dan ini telah dijelaskan oleh makalah-makalah sebelumnya.[1]
Sedangkan dalil hukum yang tidak disepakati Sebagian
jumhur ulama ada yang menjadikan dalil-dalil tersebut sebagai sumber hukum dan
ada juga yang tidak sepakat, maka disinilah terjadi 2 bagian, yang sebagian
sepakat dan yang sebagian lagi tidak sepakat mengenai dalil yang dijadikan
sebagai sumber hukum. Tentunya kita sebagai ummat Islam harus mengetahui mana
saja dalil hukum yang disepakati dan mana saja dalil hukum yang tidak
disepakati, untuk membekali diri kita dalam mengambil (istinbat) sebuah
hukum, apakah yang dalam kehidupan kita sehari-hari telah mengacu kepada
dalil-dalil tersebut atau tidak. Jangan sampai ada
keraguan dalam diri kita mengenai sesuatu hukum.
B.
Rumusan
Masalah
C.
Apa berapakah
Sumber Dalil Hukum Yang Tidak Disepakati?
D.
Jelaskan
pengertian masing-masing dan juga bagaimana tentang kehujjahannya?
C.
Tujuan
Masalah
1.
Untuk
Mengetahui Bagian Sumber Dalil Hukum Yang Tidak Disepakati.
2.
Untuk
Mengetahui pengertian masing-masing dan juga bagaimana tentang kehujjahannya.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Sumber Hukum Yang Tidak Disepakati
Selain dari
empat dalil hukum disepakati diatas yang mana para ulama sepakat, akan tetapi
ada juga dalil hukum yang mana mayoritas ulama Islam tidak sepakat atas
penggunaan dalil-dalil tersebut. Sebagian diantara mereka. Ada yang menggunakan
dalil-dalil ini sebagai alasan penetapan hukum syara’, dan sebagian yang lain
mengingkarinya. Oleh karena itu ada Sumber
Hukum Yang Tidak Disepakati oleh para ulama itu banyak, dan yang kami temui ada
5 hukum, seperti dibawah ini :
1.
Isthisan,
2.
isthisab,
3.
Maslahah
Mursalah,
4.
Urf, dan
5.
syaru man Qoblama.
Untuk pengertian dari masing-masing hukum diatas akan kami jelaskan
pada pemnahsan selanjutnya.
B.
Pengertian dari Macam-macam Sumber Hukum Yang Tidak Disepakati
beserta kehujjahanya
Macam-macamnya
yaitu : Al-Istihsan, Al-Maslahah Mursalah, Al-Ihtishhab, Al-Urf, dan
Syaru Man Qablana.
1. Isthisan (الإستحسان)
Menurut bahasa, istihsan berarti menganggap
sesuatu lebih baik atau mencari kebaikan. Menurut ulama ushul fiqh,
ialah berpaling pada sesuatu masalah dari sesuatu hukum yang sama menuju hukum
lain karena ada alasan yang lebih kuat”. Jadi ostihsan ialaig berpaling dari
qiyas kahfi atau dari hukum kulli menuju yang dikecualikan karena ada dalil
yang lebih kuat.[2]
Khilaf Tentang
Dasar Hukum Istihsan
Yang menentang istihsan
dan tidak menjadikannya sebagai dasar hujjah ialah Al-Imam As-Syafi”i dan
mazhabnya. Menurut mereka adalah menetapkan hukum hanya berdasarkan keinginan
hawa nafsu. Imam Syafi”i berkata, “Siapa yang berhujjah dengan istihsan berarti
ia telah menetapkan sendiri hukum syara” berdasarkan keinginan hawa nafsunya,
sedang yang berhak menetapkan hukum syara” hanyalah Allah SWT.” Dalam buku Risalah
Ushuliyah karangan beliau, dinyatakan, “Perumpamaan orang yang melakukan
istihsan adalah seperti orang yang melakukan shalat yang menghadap ke suatu
arah yang menurut istihsan bahwa arah itu adalah arah Ka”bah, tanpa ada dalil
yang diciptakan pembuat syara” untuk menentukan arah Ka”bah itu.”
Namun kalau
diteliti lebih dalam, ternyata pengertian istihsan menurut pendapat Madzhab
Hanafi berbeda dari istihsan menurut pendapat Madzhab Syafi”i. Menurut Madzhab
Hanafi istihsan itu semacam qiyas, dilakukan karena ada suatu kepentingan,
bukan berdasarkan hawa nafsu, sedang menurut Madzhab Syafi”i, istihsan itu
timbul karena rasa kurang enak, kemudian pindah kepada rasa yang lebih enak.
Maka seandainya
istihsan itu diperbincangkan dengan baik, kemudian ditetapkan pengertian yang
disepakati, tentulah perbedaan pendapat itu dapat dikurangi. Karena itu
asy-Syathibi dalam kitabnya Al-Muwâfaqât menyatakan, “orang yang menetapkan
hukum berdasarkan istihsan tidak boleh berdasarkan rasa dan keinginannyya
semata, akan tetapi haruslah berdasarkan hal-hal yang diketahui bahwa hukum itu
sesuai dengan tujuan Allah SWT menciptakan syara” dan sesuai pula dengan
kaidah-kaidah syara” yang umum.
Kehujjahan
Isthisan
Menurut Abdul
Wahab Kallaf Dalam bukunya Ilmu Ushul Fiqh menyatakan bahwa “Pada hakikatnya
Isthisan bukanlah sumber hukum yang berdiri sendiri, karena sesungguhnya hukum
isthisan bentuk yang pertama dari kedua bentuknya berdalilkan qiyas yang
tersembunyi yang mengalahkan terhadap qiyas yang jelas, karena adanya beberapa
factor yang menenangkannya yang membuat hati mujtahid tenang. Sedangkan bentuk
yang kedua dari isthisan adalah bahwa dalilnya adalah maslahat, yang menuntut
pengecualian kasuistis dari hukum kulli (umum) dan ini juga yang disebut
dengan segi Isthisan”.[3]
2. Isthishab (الإستصحاب)
Menurut lughat
ialah membawa atau menemani. Definisi al-Asnawy (w. 772H) yang menyatakan bahwa
“(Istishhab) adalah penetapan (keberlakukan) hukum terhadap suatu
perkara di masa selanjutnya atas dasar bahwa hukum itu telah berlaku
sebelumnya, karena tidak adanya suatu hal yang mengharuskan terjadinya
perubahan (hukum tersebut). Atau menetapkan suatu hukum sebelumnya, sehingga
yang baru merubahnya.”[4]
Dari definisi
diatas melahirkan kaidah :
الأصل بقاء ماكان على ماكان.
“Asal
sesuatu itu tetap seperti sedia kala”[5]
Banyak ulama
yang menjelaskan bahwa secara hirarki ijtihad, istishhab termasuk dalil
atau pegangan yang terakhir bagi seorang mujtahid setelah ia tidak menemukan
dalil dari al-Qur’an, al-Sunnah, ijma’ atau qiyas. Al-Syaukany misalnya
mengutip pandangan seorang ulama yang mengatakan: “Ia (istishhab) adalah
putaran terakhir dalam berfatwa. Jika seorang mufti ditanya tentang suatu
masalah, maka ia harus mencari hukumnya dalam al-Qur’an, kemudian al-Sunnah,
lalu ijma’, kemudian qiyas. Bila ia tidak menemukan (hukumnya di sana), maka ia
pun (boleh) menetapkan hukumnya dengan ‘menarik pemberlakuan hukum yang lalu di
masa sekarang’ (istishhab al-hal). Jika ia ragu akan tidak berlakunya hukum
itu, maka prinsip asalnya adalah bahwa hukum itu tetap berlaku”.
Jenis-jenis Istishhab
Para ulama
menyebutkan banyak sekali jenis-jenis istishhab ini. Dan berikut ini
akan disebutkan yang terpenting diantaranya, yaitu:
a. Istishhab
hukum asal atas sesuatu saat tidak ditemukan dalil lain yang
menjelaskannya; yaitu mubah jika ia bermanfaat dan haram jika ia membawa
mudharat[6] -dengan
perbedaan pendapat yang masyhur di kalangan para ulama tentangnya; yaitu apakah
hukum asal sesuatu itu adalah mubah atau haram-. Salah satu contohnya adalah
jenis makanan dan minuman yang tidak ditemukan dalil yang menjelaskan hukumnya
dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, atau dalil lainnya seperti ijma’ dan qiyas
b. Istishhab
al-Bara’ah al-Ashliyah, atau bahwa hukum asalnya seseorang itu terlepas dan
bebas dari beban dan tanggungan apapun, hingga datangnya dalil atau bukti yang
membebankan ia untuk melakukan atau mempertanggungjawabkan sesuatu
c. Istishhab
hukum yang ditetapkan oleh ijma’ pada saat berhadapan dengan masalah yang
masih diperselisihkan.[7]
Kehujjahan
Isthisab
Isthisab
merupakan akhir dalil syar’I yang menjadi tempat kembali seorang mujtahid untuk
mengetahui hukum sesuatu yang dihadapkan kepadanya. Oleh karena itu, maka para
ahli ilmu ushul fiqh berkata :”Sesungguhnya Isthisab merupakan akhir tempat
beredarnya fatwa. Ia adalah penetapan hukum terhadap sesuatu dengan hukum yang
telah tetap baginya, sepanjang tidak ada dalil yang merubahnya”.[8]
3. Maslahah
Mursalah (kemaslahatan umum) (المصلحة المرسلة)
Mashalihul
mursalah terdiri dari dua kalimat yaitu maslahat dan mursalah. Maslahat sendiri
secara etimologi didefinisikan sebagai upaya mengambil manfaat dan
menghilangkan mafsadat/madharat. Dari sini dapat dipahami, bahwa
maslahat mamiliki dua terma yaitu adanya manfaat (إجابي) dan menjauhkan madharat (سلبي).
Terkadang maslahat ini ditinjau dari aspek ijab-nya saja, ini menjadi qorinah
menghilangkan mafsadat. Seperti pendapat fuqaha bahwasanya “ menghilangkan
mafsadat didahulukan dalam menegakan maslahat” .[9]
Seperti
dijelaskan sebelumnya bahwa maslahat merupakan inti dari setiap syari’at yang
diturunkan oleh Allah kepada manusia untuk menjaga maksud syari’at (ushulul
khomsah).
Adapun mursalah
dipahami sebagai sesuatu yang mutlak غير مقيد yaitu maslahat yang secara khusus tidak
dijabarkan oleh nash atau tidak ada perintah maupun larangan. Dengan tidak
adanya qorinah tersebut, maka maslahat bisa menjadi acuan dalam
menentukan suatu hukum.
Syarat-syarat
mashalihul mursalah menurut Imam Syatibi memberikan 3 syarat yang berbeda
dengan Imam Ghazali.
6. Rasional.
Ketika mashalihul mursalah dihadapkan dengan akal, maka akalpun bisa
menerimanya. Dengan syarat ini perkara-perkara prinsip (ibadah) tidak masuk
kepada mashlahat mursalah.
7. Sinergi dengan maqhasid
syari’ah
8. Menjaga prinsip
dasar (dharuri) untuk menanggalkan kesulitan (raf’ul haraj).
Kehujjahan
Maslahah Mursalah
Masih menurut
Abdul Wahab Kallaf menyatakan bahwa Jumhur Ulama Ummat Islam berpendapat,
bahwasannya maslahah mursalah adalah Hujjah Syar’iyyah yang dijadikan dasar
pembentukan hukum, dan bahwasannya kejadian yang tidak ada hukumnya dalam nash
atau Ijma’ atau qiyas, ataupun Isthisan disayri’atkan kepadanya hukum yang
dikehendaki oleh kemaslahatan umum. Pembentukan hukum tersebut atas dasar
kemaslahatan ini tidak boleh ditangguhkan sampai ada bukti pengakuan dari
syara’”. [10]
Akan tetapi
masih banyak juga yang menolak mengenai kehujahan Maslahah Mursalah mereka
berpendapat bahwa maslahah mursalah yang tidak ada bukti syar’I yang
membuktikan terhadap pengakuan terhadapnya maupun pembatalannya, dan tidak bisa
dijadikan sebagai dasar pembentukan hukum.
Yang jelas
mentarjihkan pendasaran pembentukan hukum atas maslahah mursalah dapat
dilakukan, karena apabila tidak dibuka maka akan terjadi stagnasi pembentukan
hukum Islam dan akan berhenti mengikuti perjalanan situasi dan kondisi serta
lingkungan.
Adapun terhadap
kehujjahan maslahah al-mursalah, pada prinsipnya Jumhur Ulama menerimanya
sebagai salah satu alasan dalam menetapkan hukum syara’, sekalipun dalam penerapan
dan penempatan syaratnya, mereka berbeda pendapat. Ulama Hanafiyyah mengatakan
bahwa untuk menjadikan maslahah al-mursalah sebagai dalil disyaratkan maslahah
tersebut berpengaruh pada hukum. Artinya, ada ayat, hadits atau ijma’ yang
menunjukkan bahwa sifat yang dianggap sebagai kemaslahatan itu merupakan ‘illat
(motivasi hukum) dalam penetapan suatu hukum, atau jenis sifat yang menjadi
motivasi hukum tersebut dipergunakan oleh nash sebagai motivasi suatu hukum.
Ulama Malikiyyah dan Hanabilah menerima maslahah al-mursalah sebagi dalil dalam
menetapkan hukum, bahkan mereka dianggap sebagai ulama fiqh yang paling banyak
dan luas menerapkannya.
4. ‘Urf (العرف)
a. Pengertian
Urf menurut bahasa berarti mengetahui, kemudian
dipakai dalam arti sesuatu yang yang diketahui, dikenal, diangap baik dan
diterima oleh pikiran yang sehat.
Sedangkan menurut para ahli ushul fiqh adalah sesuatu yang yang telah saling dikenal oleh manusia dan mereka maenjadikan tradisi.
Sedangkan menurut para ahli ushul fiqh adalah sesuatu yang yang telah saling dikenal oleh manusia dan mereka maenjadikan tradisi.
b. Pembagian
urf
1. Ditinjau
dari bentuknya ada dua macam
a. Al Urf al
Qualiyah ialah kebiasaan yang berupa perkataan, seperti kata lahm ( daging)
dalam hal ini tidak termasuk daging ikan
b. Al Urf al
Fi’ly, ialah kebiaasaan yang berupa perbuaatan, seperti perbuatab jual beli
dalam masyarakat tampa mengucaplan akad jual-beli.
2. Ditinjau
dari segi nilainya, ada dua macam :
a. Al Urf As
Shahih, yaitu urf’ yang baik dan dapat ditrima, karena tidak bertentangan
dengan nash hukum syara’
b. Al Urf al
Fasid ialah urf yang tidak dapat diteima, karena bertentangan dengan hukum
syara
3. Ditinjau
dari luasnya berlakunya, ada dua macam :
a. Al Urf Am,
ialah Urf’ yang berlaku untuk seluruh tempat sejaka dahulu hingga sekarang
b. Al urf al
Khas, yaitu urf yang yang berlaku hanya dikenal pada suatu tempat saja, urf
adalah kebiasaan masyarakat tetentu.
c.
Syarat-syarat urf dapat diterima oleh hukum islam
1. Tidak ada
dalil yang khusus untuk suatau masalah baik dalam al Qur’an atau as Sunnah.
2. Pemakian
tidak mengankibatkan dikesampingkanya nas syari’at termasuk juga tidak
mengakibatkan masadat, kesulitan atau kesempitan..
3. Telah
berlaku secara umum dalam arti bukan hanya dilakukan beberapa orang saja.[11]
d. Kehujjahan ’Urf
Para ulama
berpendapat bahwa urf yang shahih saja yang dapat dijadikan dasar pertimbangan
mujtahid maupun para hakim untuk menetapkan hukum atau keputusan
Ulama Malikiyah
banyak menetapkan hukum berdasarkan perbuatan-perbautan penduduk madinah.
Berarti menganggap apa yang terdapat dalam masyarakat dapat dijadikan sumber
hukum dengan ketentuan tidak bertentangan dengan syara’
Imam Safi’i
terkenal denagan Qoul Qadim dan qoul jadidnya, karena melihat pratek yang
belaku pada masyarakat Bagdad dan mesir yang berlainan. Sedangkan urf yang
fasid tidak dapat diterima , hal itu jelas karena bertentangan dengan syara nas
maupun ketentuan umum nash.[12]
5.
Syari’at
Sebelum Kita (شرع من قبلنا)
Pengertianya
yaitu syari’at- syari’at yang diberlakukan pada Nabi-nabi terdahulu sebelum
datangnya Rasulullah SAW.
Adapun Syari’at
mereka dabagi 3 :
a.
Yang
telah dihapuskan oleh syari’at kita. Jika Al-Qur;an dan hadist telah menerangkan
tentang syari’at umat terdahulu, dan dijelaskan pula bahwa syari’at itu telah
dihapus maka tidak boleh dihapus.
b.
Yang
tidak dihapuskan dan dijelaskan oleh Nash. Apabila
kita temi semacam ini, maka harus dijlankan, tidak ada alasan apapun. Seperti
ketika pada Nabi Musa terdapat hukum qisas dan sampai saat ini masih
dijalankan.
c.
Yang
tidak dijelaskan Al-Qur’an atau hadist,
tapi juga tidak
dihapus.Terhadap syariat ini, perlu dikembalikan pada kekuatan kitab terdahulu.[13]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Bahwa
dapat penulis ambil kesimpulan, seluruh sember dalil hukum yang tidak
disepakati oleh ulama-ulama, bisa kita ambil sebagai wawasan kita atau ketika
kita suatu keadaan yang terdesak dan tidak ada hukumnya dalam sumber hukum yang
4 (Al-Qur’an, hadis, ijma’ dan Qiyas) maka kita bisa beristimbat hukum dengan
sember hukum yang telah kita jelaskan diatas.
- Saran
Untuk mengetahui hukum-hukum Islam yang tepat
hendaklah kita benar-benar mengetahui apa yang menjadi landasan hukum itu saran
pemakalah setiap perlakuan hendaklah memiliki dasar yang kuat agar tidak
terjadi kekeliruan dikemudian hari.
DAFTAR
PUSTAKA
o
Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al-Syaukani: Relevansinya bagi
Pembaruan Hukum Islam di Indonesia,(Jakarta: Logos, 1999)
o
Ahmad Syafi’i karim, Fiqh Ushul Fiqih. (Bandung
: Pustaka Setia. 2006.)
o
Abdul Wahab Kallaf, Ilmu Ushul Fiqih (Semarang: Dina
Utama, 1999)
o
http://www.slideshare.net/lukmanul/presentasi-ushul-fiqh-dalil-yg-tidak-disepakati. diakses hari sabtu, 10 Nopember
2012. Pukul 08:10 WIB.
[1] Nasrun
Rusli, Konsep Ijtihad Al-Syaukani: Relevansinya bagi Pembaruan Hukum Islam
di Indonesia,(Jakarta: Logos, 1999),hlm.24
[2] Ahmad
Syafi’i karim, Fiqh Ushul Fiqih. (Bandung : Pustaka Setia. 2006.) hlm.80
[3] Abdul
Wahab Kallaf, Ilmu Ushul Fiqih (Semarang: Dina Utama, 1999), hlm. 110
[4] Ahmad
Syafi’i karim, Fiqh Ushul Fiqih. (Bandung : Pustaka Setia. 2006.) hlm.82
[5] Kaidah-kaidah
Fiqih
[6] Suatu efek
atau akibat yang tidak baik yang tidak disukai.
[7] Ibid.hlm.83
[8] Abdul
Wahab Kallaf, Ilmu Ushul Fiqih (Semarang: Dina Utama, 1999), hlm. 128
[9] Ibid.hlm.84
[10] Ibid.hlm.117
[11] Ahmad
Syafi’i karim, Fiqh Ushul Fiqih. (Bandung : Pustaka Setia. 2006.) hlm.86
[12] http://www.slideshare.net/lukmanul/presentasi-ushul-fiqh-dalil-yg-tidak-disepakati.
diakses hari sabtu, 10 Nopember 2012. Pukul 08:10 WIB.
[13] Ibid.hlm.88
SAYA SANGAT BERTEIMAKASIH, KARENA MAKALAH SAYA CEPAT SELESAI
BalasHapusIYA SAMA SAMA
Hapus