Jumat, 07 Juni 2013

SUMBER DALIL HUKUM YANG TIDAK DISEPAKATI


SUMBER  DALIL HUKUM YANG TIDAK DISEPAKATI
Makalah
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Terstruktur Mata Kuliyah Fiqh/Ushul Fiqh
Dosen Pengampuh : Wardah Nuroniyah, M.S.I










Disusun Oleh :
Majdudin Nurul Huda [Sem 5]


FAKULTAS USHULUDDIN JURUSAN TAFSIR HADITS
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI  (IAIN)
SYEKH NURJATI
CIREBON
2012 M
1434 H

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis telah panjatkan atas kehadirat Allah SWT sang Pencipta alam semesta, manusia, dan kehidupan beserta seperangkat aturan-Nya, karena berkat limpahan rahmat, taufiq, hidayah serta inayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah dengan tema SUMBER DALIL HUKUM YANG TIDAK DISEPAKATIyang sederhanaini dapat terselesaikan tidak kurang daripada waktunya.
Maksud dan tujuan dari penulisan makalah ini tidak lain untuk memenuhi salah satu dari sekian kewajiban mata kuliah Ushul Fiqh serta merupakan bentuk langsung tanggung jawab penulis pada tugas yang diberikan.
Pada kesempatan ini, penulis juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada Wardah Nuroniyah, M.S.I selaku dosen serta semua pihak yang telah membantu penyelesaian makalah ini baik secara langsung maupun tidak langsung.
Demikian pengantar yang dapat penulis sampaikan dimana penulis pun sadar bawasannya penulis hanyalah seorang manusia yang tidak luput dari kesalahan dan kekurangan, sedangkan kesempurnaan hanya milik Allah Azza Wa’jala hingga dalam penulisan dan penyusunnnya masih jauh dari kata sempurna. Akhirnya penulis hanya bisa berharap, bahwa dibalik ketidak sempurnaan penulisan dan penyusunan makalah ini adalah ditemukan sesuatu yang dapat memberikan manfaat atau bahkan hikmah bagi penulis, pembaca, dan bagi seluruh mahasiswa-mahasiswi IAIN SYEKH NURJATI CIREBON. Amien ya Rabbal ‘alamin.

Tanjungpinang, 10 Nopember 2012

Penulis



DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ………………............…………………………………………………
DAFTAR ISI …………………….........……………………………………………………...
BAB I PENDAHULUAN ……...........………………………………………………………...
        A. Latar Belakang Masalah …..........………………...………………………………...
        B. Rumusan Masalah ………………..........................................……………………..
        C. Tujuan Masalah …..........................………………………………………………..
BAB II PEMBAHASAN …………………..........…………………………………………....
A.  Sumber Dalil Hukum Yang Tidak Disepakati.....................................................
B.  Pengertian dari Macam-macam Sumber Hukum Yang Tidak Disepakati beserta kehujjahanya............................................................................................
BAB III  PENUTUP ……………………….........…………………………………………...
A.     Kesimpulan …………………........………………………………………………...
B.     Saran....................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ………….........……………………………………………………….
ii
iii
1
1
1
1
2
2
2

10
10
11









BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Dalam ilmu Ushul Fiqih kita akan banyak diperkenalkan pada pembahasan tentang berbagai macam dalil hukum atau metode ijtihad para ulama dalam mengambil keputusan (istinbat) suatu hukum.
Dalil – dalil hukum tersebut para jumhur ulama ada dalil hukum yang sepakati dan ada juga yang tidak sepakati. Dalil hukum yang disepakati adalah Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas tetapi antara Ijma dan Qiyas ada yang sepakat ada juga yang tidak akan tetapi yang tidak sepakat hanya sebagian kecil yang tidak menyepakati adanya dalil hukum qiyas. Dan ini telah dijelaskan oleh makalah-makalah sebelumnya.[1]
Sedangkan dalil hukum yang tidak disepakati Sebagian jumhur ulama ada yang menjadikan dalil-dalil tersebut sebagai sumber hukum dan ada juga yang tidak sepakat, maka disinilah terjadi 2 bagian, yang sebagian sepakat dan yang sebagian lagi tidak sepakat mengenai dalil yang dijadikan sebagai sumber hukum. Tentunya kita sebagai ummat Islam harus mengetahui mana saja dalil hukum yang disepakati dan mana saja dalil hukum yang tidak disepakati, untuk membekali diri kita dalam mengambil (istinbat) sebuah hukum, apakah yang dalam kehidupan kita sehari-hari telah mengacu kepada dalil-dalil tersebut atau tidak. Jangan sampai ada keraguan dalam diri kita mengenai sesuatu hukum.
B.     Rumusan Masalah
C.     Apa berapakah Sumber Dalil Hukum Yang Tidak Disepakati?
D.    Jelaskan pengertian masing-masing dan juga bagaimana tentang kehujjahannya?
C.     Tujuan Masalah
1.      Untuk Mengetahui Bagian Sumber Dalil Hukum Yang Tidak Disepakati.
2.      Untuk Mengetahui pengertian masing-masing dan juga bagaimana tentang kehujjahannya.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sumber Hukum Yang Tidak Disepakati
Selain dari empat dalil hukum disepakati diatas yang mana para ulama sepakat, akan tetapi ada juga dalil hukum yang mana mayoritas ulama Islam tidak sepakat atas penggunaan dalil-dalil tersebut. Sebagian diantara mereka. Ada yang menggunakan dalil-dalil ini sebagai alasan penetapan hukum syara’, dan sebagian yang lain mengingkarinya. Oleh karena itu ada Sumber Hukum Yang Tidak Disepakati oleh para ulama itu banyak, dan yang kami temui ada 5 hukum, seperti dibawah ini :
1.      Isthisan,
2.       isthisab,
3.       Maslahah Mursalah,
4.      Urf, dan
5.      syaru man Qoblama. 
Untuk pengertian dari masing-masing hukum diatas akan kami jelaskan pada pemnahsan selanjutnya.
B.     Pengertian dari Macam-macam Sumber Hukum Yang Tidak Disepakati beserta kehujjahanya
Macam-macamnya yaitu : Al-Istihsan, Al-Maslahah Mursalah, Al-Ihtishhab, Al-Urf, dan Syaru Man Qablana.
1. Isthisan (الإستحسان)
Menurut bahasa, istihsan berarti menganggap sesuatu lebih baik atau mencari kebaikan. Menurut ulama ushul fiqh, ialah berpaling pada sesuatu masalah dari sesuatu hukum yang sama menuju hukum lain karena ada alasan yang lebih kuat”. Jadi ostihsan ialaig berpaling dari qiyas kahfi atau dari hukum kulli menuju yang dikecualikan karena ada dalil yang lebih kuat.[2]
Khilaf Tentang Dasar Hukum Istihsan
Yang menentang istihsan dan tidak menjadikannya sebagai dasar hujjah ialah Al-Imam As-Syafi”i dan mazhabnya. Menurut mereka adalah menetapkan hukum hanya berdasarkan keinginan hawa nafsu. Imam Syafi”i berkata, “Siapa yang berhujjah dengan istihsan berarti ia telah menetapkan sendiri hukum syara” berdasarkan keinginan hawa nafsunya, sedang yang berhak menetapkan hukum syara” hanyalah Allah SWT.” Dalam buku Risalah Ushuliyah karangan beliau, dinyatakan, “Perumpamaan orang yang melakukan istihsan adalah seperti orang yang melakukan shalat yang menghadap ke suatu arah yang menurut istihsan bahwa arah itu adalah arah Ka”bah, tanpa ada dalil yang diciptakan pembuat syara” untuk menentukan arah Ka”bah itu.”
Namun kalau diteliti lebih dalam, ternyata pengertian istihsan menurut pendapat Madzhab Hanafi berbeda dari istihsan menurut pendapat Madzhab Syafi”i. Menurut Madzhab Hanafi istihsan itu semacam qiyas, dilakukan karena ada suatu kepentingan, bukan berdasarkan hawa nafsu, sedang menurut Madzhab Syafi”i, istihsan itu timbul karena rasa kurang enak, kemudian pindah kepada rasa yang lebih enak.
Maka seandainya istihsan itu diperbincangkan dengan baik, kemudian ditetapkan pengertian yang disepakati, tentulah perbedaan pendapat itu dapat dikurangi. Karena itu asy-Syathibi dalam kitabnya Al-Muwâfaqât menyatakan, “orang yang menetapkan hukum berdasarkan istihsan tidak boleh berdasarkan rasa dan keinginannyya semata, akan tetapi haruslah berdasarkan hal-hal yang diketahui bahwa hukum itu sesuai dengan tujuan Allah SWT menciptakan syara” dan sesuai pula dengan kaidah-kaidah syara” yang umum.
Kehujjahan Isthisan
Menurut Abdul Wahab Kallaf Dalam bukunya Ilmu Ushul Fiqh menyatakan bahwa “Pada hakikatnya Isthisan bukanlah sumber hukum yang berdiri sendiri, karena sesungguhnya hukum isthisan bentuk yang pertama dari kedua bentuknya berdalilkan qiyas yang tersembunyi yang mengalahkan terhadap qiyas yang jelas, karena adanya beberapa factor yang menenangkannya yang membuat hati mujtahid tenang. Sedangkan bentuk yang kedua dari isthisan adalah bahwa dalilnya adalah maslahat, yang menuntut pengecualian kasuistis dari hukum kulli (umum) dan ini juga yang disebut dengan segi Isthisan”.[3]
2. Isthishab (الإستصحاب)
Menurut lughat ialah membawa atau menemani. Definisi al-Asnawy (w. 772H) yang menyatakan bahwa “(Istishhab) adalah penetapan (keberlakukan) hukum terhadap suatu perkara di masa selanjutnya atas dasar bahwa hukum itu telah berlaku sebelumnya, karena tidak adanya suatu hal yang mengharuskan terjadinya perubahan (hukum tersebut). Atau menetapkan suatu hukum sebelumnya, sehingga yang baru merubahnya.”[4]
Dari definisi diatas melahirkan kaidah :
الأصل بقاء ماكان على ماكان.
“Asal sesuatu itu tetap seperti sedia kala”[5]
Banyak ulama yang menjelaskan bahwa secara hirarki ijtihad, istishhab termasuk dalil atau pegangan yang terakhir bagi seorang mujtahid setelah ia tidak menemukan dalil dari al-Qur’an, al-Sunnah, ijma’ atau qiyas. Al-Syaukany misalnya mengutip pandangan seorang ulama yang mengatakan: “Ia (istishhab) adalah putaran terakhir dalam berfatwa. Jika seorang mufti ditanya tentang suatu masalah, maka ia harus mencari hukumnya dalam al-Qur’an, kemudian al-Sunnah, lalu ijma’, kemudian qiyas. Bila ia tidak menemukan (hukumnya di sana), maka ia pun (boleh) menetapkan hukumnya dengan ‘menarik pemberlakuan hukum yang lalu di masa sekarang’ (istishhab al-hal). Jika ia ragu akan tidak berlakunya hukum itu, maka prinsip asalnya adalah bahwa hukum itu tetap berlaku”.
Jenis-jenis Istishhab
Para ulama menyebutkan banyak sekali jenis-jenis istishhab ini. Dan berikut ini akan disebutkan yang terpenting diantaranya, yaitu:
a. Istishhab hukum asal atas sesuatu saat tidak ditemukan dalil lain yang menjelaskannya; yaitu mubah jika ia bermanfaat dan haram jika ia membawa mudharat[6] -dengan perbedaan pendapat yang masyhur di kalangan para ulama tentangnya; yaitu apakah hukum asal sesuatu itu adalah mubah atau haram-. Salah satu contohnya adalah jenis makanan dan minuman yang tidak ditemukan dalil yang menjelaskan hukumnya dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, atau dalil lainnya seperti ijma’ dan qiyas
b. Istishhab al-Bara’ah al-Ashliyah, atau bahwa hukum asalnya seseorang itu terlepas dan bebas dari beban dan tanggungan apapun, hingga datangnya dalil atau bukti yang membebankan ia untuk melakukan atau mempertanggungjawabkan sesuatu
c. Istishhab hukum yang ditetapkan oleh ijma’ pada saat berhadapan dengan masalah yang masih diperselisihkan.[7]
Kehujjahan Isthisab
Isthisab merupakan akhir dalil syar’I yang menjadi tempat kembali seorang mujtahid untuk mengetahui hukum sesuatu yang dihadapkan kepadanya. Oleh karena itu, maka para ahli ilmu ushul fiqh berkata :”Sesungguhnya Isthisab merupakan akhir tempat beredarnya fatwa. Ia adalah penetapan hukum terhadap sesuatu dengan hukum yang telah tetap baginya, sepanjang tidak ada dalil yang merubahnya”.[8]
3. Maslahah Mursalah (kemaslahatan umum) (المصلحة المرسلة)
Mashalihul mursalah terdiri dari dua kalimat yaitu maslahat dan mursalah. Maslahat sendiri secara etimologi didefinisikan sebagai upaya mengambil manfaat dan menghilangkan mafsadat/madharat. Dari sini dapat dipahami, bahwa maslahat mamiliki dua terma yaitu adanya manfaat (إجابي) dan menjauhkan madharat (سلبي). Terkadang maslahat ini ditinjau dari aspek ijab-nya saja, ini menjadi qorinah menghilangkan mafsadat. Seperti pendapat fuqaha bahwasanya “ menghilangkan mafsadat didahulukan dalam menegakan maslahat” .[9]
Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa maslahat merupakan inti dari setiap syari’at yang diturunkan oleh Allah kepada manusia untuk menjaga maksud syari’at (ushulul khomsah).
Adapun mursalah dipahami sebagai sesuatu yang mutlak غير مقيد yaitu maslahat yang secara khusus tidak dijabarkan oleh nash atau tidak ada perintah maupun larangan. Dengan tidak adanya qorinah tersebut, maka maslahat bisa menjadi acuan dalam menentukan suatu hukum.
Syarat-syarat mashalihul mursalah menurut Imam Syatibi memberikan 3 syarat yang berbeda dengan Imam Ghazali.
6.      Rasional. Ketika mashalihul mursalah dihadapkan dengan akal, maka akalpun bisa menerimanya. Dengan syarat ini perkara-perkara prinsip (ibadah) tidak masuk kepada mashlahat mursalah.
7.      Sinergi dengan maqhasid syari’ah
8.      Menjaga prinsip dasar (dharuri) untuk menanggalkan kesulitan (raf’ul haraj).
Kehujjahan Maslahah Mursalah
Masih menurut Abdul Wahab Kallaf menyatakan bahwa Jumhur Ulama Ummat Islam berpendapat, bahwasannya maslahah mursalah adalah Hujjah Syar’iyyah yang dijadikan dasar pembentukan hukum, dan bahwasannya kejadian yang tidak ada hukumnya dalam nash atau Ijma’ atau qiyas, ataupun Isthisan disayri’atkan kepadanya hukum yang dikehendaki oleh kemaslahatan umum. Pembentukan hukum tersebut atas dasar kemaslahatan ini tidak boleh ditangguhkan sampai ada bukti pengakuan dari syara’”. [10]
Akan tetapi masih banyak juga yang menolak mengenai kehujahan Maslahah Mursalah mereka berpendapat bahwa maslahah mursalah yang tidak ada bukti syar’I yang membuktikan terhadap pengakuan terhadapnya maupun pembatalannya, dan tidak bisa dijadikan sebagai dasar pembentukan hukum.
Yang jelas mentarjihkan pendasaran pembentukan hukum atas maslahah mursalah dapat dilakukan, karena apabila tidak dibuka maka akan terjadi stagnasi pembentukan hukum Islam dan akan berhenti mengikuti perjalanan situasi dan kondisi serta lingkungan.
Adapun terhadap kehujjahan maslahah al-mursalah, pada prinsipnya Jumhur Ulama menerimanya sebagai salah satu alasan dalam menetapkan hukum syara’, sekalipun dalam penerapan dan penempatan syaratnya, mereka berbeda pendapat. Ulama Hanafiyyah mengatakan bahwa untuk menjadikan maslahah al-mursalah sebagai dalil disyaratkan maslahah tersebut berpengaruh pada hukum. Artinya, ada ayat, hadits atau ijma’ yang menunjukkan bahwa sifat yang dianggap sebagai kemaslahatan itu merupakan ‘illat (motivasi hukum) dalam penetapan suatu hukum, atau jenis sifat yang menjadi motivasi hukum tersebut dipergunakan oleh nash sebagai motivasi suatu hukum. Ulama Malikiyyah dan Hanabilah menerima maslahah al-mursalah sebagi dalil dalam menetapkan hukum, bahkan mereka dianggap sebagai ulama fiqh yang paling banyak dan luas menerapkannya.
4. ‘Urf   (العرف)
a. Pengertian
Urf menurut bahasa berarti mengetahui, kemudian dipakai dalam arti sesuatu yang yang diketahui, dikenal, diangap baik dan diterima oleh pikiran yang sehat.
Sedangkan menurut para ahli ushul fiqh adalah sesuatu yang yang telah saling dikenal oleh manusia dan mereka maenjadikan tradisi.
b. Pembagian urf
1. Ditinjau dari bentuknya ada dua macam
a. Al Urf al Qualiyah ialah kebiasaan yang berupa perkataan, seperti kata lahm ( daging) dalam hal ini tidak termasuk daging ikan
b. Al Urf al Fi’ly, ialah kebiaasaan yang berupa perbuaatan, seperti perbuatab jual beli dalam masyarakat tampa mengucaplan akad jual-beli.
2. Ditinjau dari segi nilainya, ada dua macam :
a. Al Urf As Shahih, yaitu urf’ yang baik dan dapat ditrima, karena tidak bertentangan dengan nash hukum syara’
b. Al Urf al Fasid ialah urf yang tidak dapat diteima, karena bertentangan dengan hukum syara
3. Ditinjau dari luasnya berlakunya, ada dua macam :
a. Al Urf Am, ialah Urf’ yang berlaku untuk seluruh tempat sejaka dahulu hingga sekarang
b. Al urf al Khas, yaitu urf yang yang berlaku hanya dikenal pada suatu tempat saja, urf adalah kebiasaan masyarakat tetentu.
c. Syarat-syarat urf dapat diterima oleh hukum islam
1. Tidak ada dalil yang khusus untuk suatau masalah baik dalam al Qur’an atau as Sunnah.
2. Pemakian tidak mengankibatkan dikesampingkanya nas syari’at termasuk juga tidak mengakibatkan masadat, kesulitan atau kesempitan..
3. Telah berlaku secara umum dalam arti bukan hanya dilakukan beberapa orang saja.[11]
d. Kehujjahan ’Urf
Para ulama berpendapat bahwa urf yang shahih saja yang dapat dijadikan dasar pertimbangan mujtahid maupun para hakim untuk menetapkan hukum atau keputusan
Ulama Malikiyah banyak menetapkan hukum berdasarkan perbuatan-perbautan penduduk madinah. Berarti menganggap apa yang terdapat dalam masyarakat dapat dijadikan sumber hukum dengan ketentuan tidak bertentangan dengan syara’
Imam Safi’i terkenal denagan Qoul Qadim dan qoul jadidnya, karena melihat pratek yang belaku pada masyarakat Bagdad dan mesir yang berlainan. Sedangkan urf yang fasid tidak dapat diterima , hal itu jelas karena bertentangan dengan syara nas maupun ketentuan umum nash.[12]
5.    Syari’at Sebelum Kita (شرع من قبلنا)
Pengertianya yaitu syari’at- syari’at yang diberlakukan pada Nabi-nabi terdahulu sebelum datangnya Rasulullah SAW.
Adapun Syari’at mereka dabagi 3 :
a.    Yang telah dihapuskan oleh syari’at kita. Jika Al-Qur;an dan hadist telah menerangkan tentang syari’at umat terdahulu, dan dijelaskan pula bahwa syari’at itu telah dihapus maka tidak boleh dihapus.
b.   Yang tidak dihapuskan dan dijelaskan oleh Nash. Apabila kita temi semacam ini, maka harus dijlankan, tidak ada alasan apapun. Seperti ketika pada Nabi Musa terdapat hukum qisas dan sampai saat ini masih dijalankan.
c.    Yang tidak dijelaskan Al-Qur’an atau hadist, tapi juga tidak dihapus.Terhadap syariat ini, perlu dikembalikan pada kekuatan kitab terdahulu.[13]









BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Bahwa dapat penulis ambil kesimpulan, seluruh sember dalil hukum yang tidak disepakati oleh ulama-ulama, bisa kita ambil sebagai wawasan kita atau ketika kita suatu keadaan yang terdesak dan tidak ada hukumnya dalam sumber hukum yang 4 (Al-Qur’an, hadis, ijma’ dan Qiyas) maka kita bisa beristimbat hukum dengan sember hukum yang telah kita jelaskan diatas.
  1. Saran
Untuk mengetahui hukum-hukum Islam yang tepat hendaklah kita benar-benar mengetahui apa yang menjadi landasan hukum itu saran pemakalah setiap perlakuan hendaklah memiliki dasar yang kuat agar tidak terjadi kekeliruan dikemudian hari.













DAFTAR PUSTAKA


o   Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al-Syaukani: Relevansinya bagi Pembaruan Hukum Islam di Indonesia,(Jakarta: Logos, 1999)
o   Ahmad Syafi’i karim, Fiqh Ushul Fiqih. (Bandung : Pustaka Setia. 2006.)
o   Abdul Wahab Kallaf, Ilmu Ushul Fiqih (Semarang: Dina Utama, 1999)
o   http://www.slideshare.net/lukmanul/presentasi-ushul-fiqh-dalil-yg-tidak-disepakati. diakses hari sabtu, 10 Nopember 2012. Pukul 08:10 WIB.



[1] Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al-Syaukani: Relevansinya bagi Pembaruan Hukum Islam di Indonesia,(Jakarta: Logos, 1999),hlm.24
[2] Ahmad Syafi’i karim, Fiqh Ushul Fiqih. (Bandung : Pustaka Setia. 2006.) hlm.80
[3] Abdul Wahab Kallaf, Ilmu Ushul Fiqih (Semarang: Dina Utama, 1999), hlm. 110
[4] Ahmad Syafi’i karim, Fiqh Ushul Fiqih. (Bandung : Pustaka Setia. 2006.) hlm.82
[5] Kaidah-kaidah Fiqih
[6] Suatu efek atau akibat yang tidak baik yang tidak disukai.
[7] Ibid.hlm.83
[8] Abdul Wahab Kallaf, Ilmu Ushul Fiqih (Semarang: Dina Utama, 1999), hlm. 128
[9] Ibid.hlm.84
[10] Ibid.hlm.117
[11] Ahmad Syafi’i karim, Fiqh Ushul Fiqih. (Bandung : Pustaka Setia. 2006.) hlm.86
[12] http://www.slideshare.net/lukmanul/presentasi-ushul-fiqh-dalil-yg-tidak-disepakati. diakses hari sabtu, 10 Nopember 2012. Pukul 08:10 WIB.
[13] Ibid.hlm.88

2 komentar: